Balada Anak Pondok
Cerita tentang sang adik yang mengikuti jejak kakaknya menjadi anak pesantren yang hidup jauh dari orang tua dan keluarga.


Kemarin adik perempuan saya menelepon. Seperti biasa dia bertanya kapan saya akan menjenguknya. Kebetulan sekali hari ini saya harus ke rumah teman yang searah dengan pondok pesantren adik. Jadi bisa sekalian ke sana pikir saya.
Hampir enam bulan si adik mondok di pesantren, dan itu adalah keinginannya sendiri, padahal jauh sebelumnya saya sempat menawarkan sekolah SMA saja, tapi apa mau dikata tekadnya sudah bulat untuk menjadi anak pondok.
Perjanjian
Singkat cerita jadilah dia mendaftar ke pondok setelah meyakinkan saya dan Ibu dengan janji akan belajar mandiri dan tidak akan merengek minta pindah sekolah jika ada sesuatu yang tidak nyaman di kemudian hari.
Waktu itu lumayan banyak juga yang harus di beli. Mulai dari kasur, lemari dan tentu saja peralatan sekolah. Untungnya kalau pakaian tidak terlalu banyak karena kebetulan badan kami seukuran, jadi sebagian gamis dan kerudung saya yang masih bagus bisa dipakai oleh adik.
Jadwal Kunjungan
Di bulan pertama saya sering berkunjung ke pesantren setiap hari Jumat karena saya mengerti bahwa adik masih harus beradaptasi dan butuh penyemangat. Agar dia senang saya pun selalu membawakan makanan yang dia senangi. Kebetulan tempat kos saat ini lumayan dekat hanya sekitar 20 menit perjalanan, jadi sama sekali tidak merepotkan.
Selain saya, sosok yang selalu menengok adik di pesantren adalah Ibu. Di tengah kesibukannya Mak (panggilan saya kepada Ibu) selalu menyempatkan diri pergi ke kota Langsa minimal 1 kali dalam setiap bulannya.
Dulu vs Sekarang
Pondok pesantren tempat si kakak sekarang menuntut ilmu adalah pondok di mana saya dulu menuntut ilmu. Setiap sudut pondok akan membangkitkan memori masa lalu. Berbeda dengan sang adik yang memulai di tingkat alawiyah, saya mulai sekolah di pesantren sejak tsanawiyah.
Ada banyak pertimbangan yang membuat ibu khawatir, selain dirasa masih kecil, saya pun sering sakit-sakitan. Tapi syukur, pada akhirnya ibu merelakan saya untuk menimba ilmu di pondok.
Saat itu tahun 1996. Saya ingat sekali kalau kehidupan di pondok tidak semudah dan senyaman saat ini. Sebut saja soal air yang warnanya sangat kuning, belum lagi jika musim ujian. Jangankan air bersih, yang kotor pun sulit mendapatkannya. Kami harus rela mengangkat air dari sumur besar peninggalan belanda yang ada di belakang asrama.
Sambal & Pohon Ceri
Meskipun tidak seenak sekarang tapi ada banyak hal dari pondok lama yang mungkin tidak dirasakan oleh generasi pondok saat ini. Salah satunya adalah makanan. Kalau sudah waktunya sarapan kami bersemangat untuk mengantre di dapur umum demi mendapatkan sambal hijau dengan minyak jelantah yang kelezatannya tidak bisa tergantikan oleh makanan modern.
Selain sambal, ikon lain dari pesantren di masa saya dulu adalah pohon ceri yang dikenal angker dan berpenghuni. Untungnya saat ini pohon yang sering menjadi kambing hitam seringnya orang kesurupan di pondok sudah tidak ada lagi.
Doa untuk Adik
Tidak terasa sudah 14 tahun saya meninggalkan pondok dan sekarang saya rajin berkunjung ke tempat ini lagi. Tempat di mana ustaz dan ustazah mengajarkan banyak ilmu kepada saya. Semoga saja si adik betah dan bisa menyelesaikan sekolahnya di pondok ini.