Sejuta Cinta di Zaydab
Keraguan dan bayang-bayang gurun gersang langsung hilang setelah melihat sungai Nil dan daerah hijau yang dipenuhi pemandangan Indah.


Libur telah tiba, saatnya membuat rencana. Lumayan ada waktu kosong sekitar 3 minggu di akhir semester ini. Kalau terus di asrama pasti akan jenuh dan bosan apalagi baru melewati masa ujian. Intinya sih butuh refreshing untuk menyegarkan pikiran.
Kebetulan Inas yang tinggal satu asrama mengajak saya dan teman-teman lain untuk liburan di kampung halamannya. Tapi ada sedikit rasa waswas hinggap di hati mengingat keberadaan saya yang terbilang baru di tanah Sudan ini. Walhasil saya dan teman-teman pun menolak ajakan tersebut.
Berangkat Demi Pertemanan
Beberapa hari kemudian Inas bercerita pada saya bahwa ibunya menanyakan tentang kedatangan kami, ternyata beliau dan keluarganya belum tahu bahwa rencana tersebut sudah kami urungkan. Mendengar antusiasme dan persiapan mereka hati kami pun luluh dan memutuskan untuk melanjutkan rencana yang sebelumnya dibatalkan tersebut.
Akhirnya berangkatlah kami pada Sabtu pagi. Perjalanan ke Zaydab ditempuh sekitar 6 jam dari Khartoum ibu kota Sudan. karena pemandangan yang tersaji sepanjang perjalanan adalah hamparan padang pasir maka saya sedikit underestimate dan membayangkan kalau Zaydab adalah tempat yang gersang.
Untungnya jalan yang dilalui lurus dan minim tingkungan. Busnya pun dilengkapi AC tanpa ada gangguan asap rokok. Satu-satunya cara untuk menikmati perjalanan yang gersang tersebut adalah menonton film dari layar TV yang tergantung di bus.
Menyeberangi Sungai Nil
Setelah sampai di tujuan akhir bus kami pun bergegas turun. Ternyata perjalanannya belum berakhir. Kami masih harus menumpang truk model pick up untuk melintasi padang pasir menuju pinggiran sungai Nil sebelum menyeberanginya menggunakan perahu bersama sekitar 40 penumpang lain plus kendaraan mereka.
Bisa dibilang itu adalah momen berharga yang mungkin tidak akan pernah saya alami lagi. Selang 10 menit kemudian tibalah kami di Zaydab. Keluarga Inas ternyata sudah menunggu. Subhanallah sambutan mereka begitu hangat, apalagi kami langsung disuguhi syai, teh khas Sudan.
Menjadi Tamu yang Dimuliakan
Nyaris tidak ada waktu untuk beristirahat karena kerabat Inas terus berdatangan untuk bersilaturahmi dengan kami. Usut punya usut ternyata Inas mengabarkan kedatangan kami ke seluruh karib dan kerabatnya, walhasil mereka datang tak henti-henti.
Mungkin akan terlihat aneh bagi kita tapi hal seperti itu sudah menjadi tradisi dan kebiasaan mereka dalam memuliakan tamu. Ada sensasi tersendiri di Zaydab ini, rasa kekeluargaan yang begitu erat ibarat kami sudah lama saling mengenal.
Malam ini kami dijamu dengan kharuf (kambing) Walaupun mereka tidak makan nasi tapi mereka mengkhususkan memasaknya untuk kami. Ketika makan pun kita bersama-sama makan di satu wadah, biasa mereka menyebutnya siniya—sejenis nampan besar. Mereka begitu memuliakan tamu-tamunya.
Bukan Gurun Gersang
Hawa dingin mulai menyapa ketika malam tiba. Ternyata perkampungan dekat sungai Nil jauh dingin ketimbang Khartoum yang panas tiada duanya. Menikmati malam dengan hawa dingin sambil menatap berjuta-juta bintang adalah kebahagiaan yang aku rasakan, wallahi saya belum pernah melihat langit dihiasi bintang-bintang seindah ini.
Keesokan harinya kami jalan-jalan di sekitar perkampungan, mengunjungi kebun jarjir—sayuran khas Sudan dan kebun jeruk. Paman Inas sudah menunggu disana untuk menghibur kami dengan syair-syair Arab. Tidak disangka sang paman begitu lihai membuat dan menjelaskan kepada kami maksud dan isi syair-syair itu, masya allah begitu indahnya.
Satu hal yang pasti Zaydab adalah daerah yang subur, perkampungan hijau, yang terletak di sepanjang bantaran sungai Nil. Daerah ini dikenal sebagai penghasil sayur-sayuran dan buah-buahan.
Jadi Bule Dadakan
Setelah puas menjelajah kebun, kami singgah di salah satu rumah sakit sekedar ingin melihat-lihat saja, ternyata kepala rumah sakitnya menyambut kedatangan kami dengan hangat, jadilah kami berkeliling dan melakukan tur.
TIba-tiba saja kami menjadi pusat perhatian penduduk sekitar, mungkin karena jarang ada turis masuk kampung, Anak-anak kecil mengikuti kemana kami berada sambil sibuk mereka minta untuk di foto, "ya shadiqah shawwir... shawwir..." Akhirnya kami sibuk foto sana-sini.
Perpisahan
Hampir setiap malam kami habiskan dengan menikmati teh bersama keluarga inas yang antusias bercerita tentang kehidupan mereka. Ada kebahagiaan dan cinta yang aku dan teman teman rasakan di rumah ini, walaupun sederhana namun sangat bersahaja.
Hari-hari berikutnya kami berkeliling mengunjungi rumah dari karib dan kerabat Inas. Seperti biasa kami sambutannya selalu hangat dengan suguhan makanan khas seperti hawalah yang biasa mereka sajikan pada tamu.
Tak terasa sudah 2 hari berlalu. Kami tak bisa berlama-lama menghabiskan masa liburan di sana karena akan merepotkan keluarga Inas, saatnya harus kembali lagi ke Khartoum. Walaupun ada rasa sedih saya berharap bisa kembali lagi ke Zaydab sebelum meninggalkan Sudan, keluarga ini begitu penuh cinta dan kebahagiaan. Ada isak tangis melepas kepulangan kami. Zaydab!!! Aku akan kembali lagi.